Minggu, 30 Desember 2012

ADAKAH ABORSI YANG BOLEH DILAKUKAN

Syari’at Islam, diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh manusia, untuk menjaga agama, jiwa, harta, kehormatan dan keturunan. Lima hal pokok ini kemudian disebut dengan ad-dharûriyatul khams. Segala tindakan yang mengarahkan kepada pengerusakan terhadap lima perkara pokok yang dilindungi syari’at ini, dianggap sebagai tindakan kriminal dan dihukumi haram. Pelakunya diancam dengan berbagai macam hukuman. 

Salah satu tindakan kriminal itu adalah aborsi tanpa alasan yang dibenarkan syari’at. Janin yang sudah diberikan ruh oleh Allah Azza wa Jalla memiliki hak hidup yang diakui syari’at Islam. Oleh karena itu, semua pelaku tindakan yang menyebabkan sang janin kehilangan hak hidup, berhak mendapatkan hukuman. 

Syaikh Shalih Fauzân hafidahullâh mengatakan : “Apabila ruh telah ditiupkan ke dalam kandungan (janin); kemudian janin itu mati karena aborsi, maka itu salah satu bentuk pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan tanpa alasan yang dibenarkan syari’at. Allah Azza wa Jalla telah menetapkan hukum-hukum pidana, seperti pelaku berkewajiban membayar diyat sesuai dengan rincian ketentuan yang ada. Sebagian imam memandang, pelaku berkewajiban membayar kafarat yaitu memerdekakan budak wanita yang Mukmin, jika tidak mendapatkannya maka berkewajiban berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Sebagian Ulama menamakan perbuatan ini dengan al-ma’udatush-shughra (bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup). [1]

Begitu juga yang disampaikan oleh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah t ketika ditanya tentang kewajiban seorang tuan yang dengan sengaja menggugurkan janin hasil persetubuhannya dengan budak wanitanya. Si tuan berkewajiban membayar ghurrah (denda). [2]

Jadi, hukum asal dari aborsi yaitu haram dilakukan pada berbagai usia janin. Namun hukum asal ini bisa berubah, ketika ada kondisi darurat, misalnya nyawa ibu terancam atau berbagai kondisi lainnya. Para Ulama memberikan ketentuan yang sangat ketat terkait dengan kondisi-kondisi yang bisa mengakibatkan perubahan hukum asal aborsi. Di antara kondisi-kondisi yang menyebabkan aborsi menjadi boleh dilakukan yaitu :

A. Ketika Sang Janin Sudah Mati
Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm rahimahullah mengatakan dalam Majmu` Fatâwa beliau (11/151) : “Tentang usaha menggugurkan kandungan, maka itu tidak boleh dilakukan selama sang janin belum terbukti sudah mati. Namun jika sang janin sudah dipastikan mati, maka boleh digugurkan.” [3] 

B. Ketika Keselamatan Sang Ibu Terancam.
Dalam fatwa Lajnah Da`imah disebutkan :
1. Menurut syari’at, hukum asal menggugurkan kandungan dalam berbagai usia itu tidak boleh.

2. Menggugurkan kandungan pada priode awal yaitu saat usia kandungan 40 hari, tidak boleh dilakukan kecuali untuk mencegah bahaya yang dikhawatirkan akan terjadi atau untuk mewujudkan maslahah syar’iyyah (kebaikan yang sesuai syari’at). Semuanya sesuai dengan ketentuan orang yang ahli, baik secara medis ataupun secara syar’i. Sedangkan pengguguran kandungan pada masa sekarang ini, yang dilakukan karena alasan takut susah dalam mendidik anak, atau takut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dan memenuhi biaya pendidikan, atau dengan dalih demi masa depan mereka, atau dengan dalih sudah cukup dengan jumlah tertentu anak-anak yang sudah didapatkan oleh pasangan suami istri, maka itu tidak boleh dilakukan. 

3. Apabila kandungan itu sudah berbentuk ‘alaqah (segumpal darah) atau mudhghah (segumpal daging), maka tidak boleh digugurkan, sampai ada tim dokter yang bisa dipercaya menetapkan bahwa jika membiarkan kehamilan berlanjut akan membahayakan keselamatan sang ibu. (Misalnya-pent) dikhawatir akan menyebabkan kematian sang ibu. Jika ada tim ahli yang menetapkan seperti itu, maka kandungan tersebut boleh digugurkan setelah menempuh segala upaya untuk menghindari bahaya tersebut.

4. Setelah priode ketiga dan setelah usia kandungan genap empat bulan, maka tidak diperbolehkan menggugurkan kandungan sampai diputuskan oleh tim dokter spesialis yang bisa dipercaya, bahwa membiarkan janin tetap berada dalam perut sang ibu bisa menyebabkan kematian ibunya. Itupun setelah menempuh berbagai upaya untuk menyelamatkan hidup sang ibu. Rukhshah (keringanan hukum) bolehnya menggugurkan kandungan dengan syarat-syarat (yang telah disebutkan-pent) ini adalah demi mencegah bahaya yang lebih besar dari dua bahaya dan untuk mengambil maslahat yang lebih besar dari dua maslahat. [4] 

FATAWA : ABORSI KARENA CACAT FISIK

Syaikh Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah ditanya : "Jika selama proses kehamilan, setelah dilakukan pemeriksaan, diketahui adanya cacat fisik pada janin, bolehkah kita menggugurkannya? maksudnya mengeluarkan janin sebelum masa kelahirannya ?

Beliau rahimahullah menjawab :
Tidak boleh, bahkan wajib dibiarkan, karena terkadang Allah Azza wa Jalla merubahnya. Banyak para dokter telah menyampaikan dugaan-dugaan mereka, namun Allah Azza wa Jalla membatalkan dugaan mereka, anak terlahir dengan selamat. Dan (untuk diingat-pent), Allah Azza wa Jalla menguji para hamba-Nya dengan kesenangan dan juga dengan kesusahan. Jadi tidak boleh menggugurkan kandungan karena dugaan cacat dari seorang dokter, bahkan janin itu tetap harus dibiarkan. Jika dia memang cacat, maka alhamdulillâh si orang tua bisa mendidiknya dan tetap bersabar mengurusinya. (jika demikian-pent) Kedua orang tuanya akan mendapatkan pahala yang besar. Mereka juga bisa menyerahkannya ke panti-panti rehabilitasi yang didirikan oleh pemerintah untuk tujuan ini. Kedua orang tuanya tidak mendapatkan dosa. 

Terkadang keadaan berubah, mereka sudah menduga akan cacat namun pada bulan kelima atau keenam, kondisinya berubah normal, Allah Azza wa Jalla memberikan kesembuhan serta faktor-faktor yang menyebabkan cacat menjadi sirna. [5] 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIIi/Jumadil Tsani 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. At-Tanbîhât ‘ala Ahkâmin Takhtasshu Bihan Nisâ’, hlm. 25
[2]. Jâmi’ Ahkâmin Nisâ’ 4/607
[3]. At-Tanbîhât ‘alâ Ahkâmin Takhtasshu Bihan Nisâ’, hlm. 26
[4]. Fatâwa Lajnatid Dâimah Lil Buhûts Wal Iftâ`, 21/435-436
[5]. al Fatâwa al Muta’alliqah Bit Thibbi Wa Ahkâmil Mardha, hlm. 275.