Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
1. Hukumnya
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam dan juga merupakan salah satu kewajibannya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 183-185]
Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَ إِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإيِْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ.
“Islam didirikan di atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Al-lah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah dan puasa pada bulan Ramadhan.”[1]
Dan umat telah sepakat tentang kewajiban puasa bulan Ramadhan, dan ia merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam yang telah diketahui dari agama secara pasti. Barangsiapa yang mengingkari akan kewajibannya, maka ia telah kafir atau keluar dari Islam.[2]
2. Keutamaannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” [3]
Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfiman:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِى بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ, فَإِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ وَلاَ يَجْهَلْ, فَإِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَليَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ, مَرَّتَيْنِ, وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ, وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ.
"Setiap amal anak Adam adalah untuknya sendiri kecuali puasa, di mana puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberikan pahala atasnya. Puasa itu adalah perisai, jika pada hari yang salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membuat kegaduhan dan tidak juga melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa.' -dua kali- Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah pada hari Kiamat nanti dari pada bau minyak kasturi. Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kegembiraan, jika berbuka, dia bergembira dengan berbukanya dan jika berjumpa dengan Rabbnya dia juga bergembira dengan puasanya.’” [4]
Juga dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَيَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ: أَيْنَ الصّاَئِمُوْنَ ؟ فَيَقُوْمُوْنَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ, فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ.
“Sesungguhnya di Surga itu terdapat satu pintu yang diberi nama ar-Rayyan. Dari pintu itu orang-orang yang berpuasa akan masuk pada hari Kiamat kelak, tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu itu selain mereka. Dikatakan kepada mereka, ‘Manakah orang-orang yang berpuasa?’ Kemudian mereka berdiri (untuk memasukinya), tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu itu selain mereka, manakala mereka telah masuk, pintu itu ditutup dan tidak ada yang masuk selain mereka.” [5]
3. Wajib Berpuasa Ramadhan Dikarenakan Melihat Hilal (Bulan)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ, فَإِنْ غُمِيَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوْا ثَلاَثِيْنَ.
“Berpuasalah kalian karena telah melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian karena telah melihatnya pula. Dan jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka hitunglah bulan (Sya’ban) menjadi 30 hari.” [6]
4. Dengan Apa Bulan Ditetapkan?
Bulan Ramadhan ditetapkan dengan melihat hilal (bulan), walaupun yang melihatnya hanya satu orang yang terpercaya atau dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Orang-orang sedang berusaha melihat hilal, lalu aku memberitahu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya aku telah melihatnya, kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.”[7] . Jika bulan tidak bisa dilihat disebabkan oleh mendung atau yang lainnya, maka bilangan bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang telah lalu.
Adapun bulan Syawwal, maka ia tidaklah ditetapkan kecuali dengan persaksian dua orang. Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin al-Kahthtab, bahwasanya dia berkhutbah pada hari yang diragukan untuk berpuasa padanya, dan berkata, “Ketahuilah bahwasanya aku telah bersama para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan aku telah bertanya kepada mereka, lalu mereka mengatakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ, وَانْسُكُوْا لَهَا, فَإِنْ غُمَّى عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا, فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ مُسْلِمَانِ فَصُوْمُوا وَأَفْطِرُوْا.
"Berpuasalah kalian karena telah melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian karena telah melihatnya pula, serta beribadahlah karena melihatnya. Jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka genapkanlah menjadi 30 hari. Dan jika ada dua orang muslim yang memberi kesaksian (melihat bulan), maka berpuasa dan berbukalah kalian.’” [8]
Diriwayatkan dari Gubernur Makkah al-Harits bin Hatibz, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepada kami agar kami beribadah berdasarkan melihat bulan. Jika kami tidak bisa melihatnya dan telah bersaksi dua orang yang terpercaya (bahwa mereka telah melihatnya), maka kami beribadah berdasarkan persaksian mereka berdua.” [9]
Dalam sabdanya yang berbunyi "Dan jika ada dua orang yang memberi kesaksian (melihat bulan), maka berpuasa dan berbukalah kalian" dari hadits ‘Abdurrahman bin Zaid. Dan sabdanya, "Jika kami tidak bisa melihatnya (bulan) dan telah bersaksi dua orang yang terpercaya (bahwa mereka telah melihatnya), maka kami beribadah berdasarkan persaksian mereka tersebut." Dalam hadits al-Harits, keduanya memberi pengertian bahwa tidak boleh menetapkan saat berpuasa dan berbuka (masuk bulan Syawwal) dengan persaksian satu orang saja, kecuali penetapan waktu puasa karena telah ada dalil yang membolehkan hal tersebut (persaksian satu orang), sedangkan waktu berbuka tidak ada dalil yang menunukkan hal tersebut, maka ia tetap dalam hukum asalnya (yaitu harus dengan persaksian dua orang yang terpercaya).
Sampai di sini penukilan dari kitab Tuhfatul Ahwadzi (III/373-374), dengan sedikit perubahan.
Perhatian:
Barangsiapa yang melihat hilal seorang diri, maka janganlah ia berpuasa hingga manusia yang lainnya berpuasa. Begitu pula jangan dia berbuka hingga mereka berbuka, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaiahi wa sallam telah bersabda:
اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ.
“Waktu puasa adalah hari di mana kalian semua berpuasa, waktu berbuka (‘Iedul Fithri) adalah di hari kalian semua berbuka, dan hari ‘Idul Adha ialah hari di mana kalian berkurban.” [10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Telah berlalu takhrijnya pada kitab ath-Thaharah.
[2]. Fiqhus Sunnah (I/366).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/115, no. 1901), Sunan an-Nasa-i (IV/157), Sunan Ibni Majah (I/526, no. 1641), Shahiih Muslim (I/523, no. 760).
[4]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/118, no. 1904), Shahiih Muslim (II/807, no. 1151 (164), Sunan an-Nasa-i (IV/163). Al-Junnah, dengan mendhammahkan huruf jiim, artinya pencegah dan penghalang. Ar-Rafatsu, dengan membaris ataskan huruf ra', fa' dan tsa', yaitu ucapan yang kotor. La yajhal, yaitu dia tidak melakukan perbuatan orang-orang yang bodoh seperti berteriak, kurang ajar atau yang lainnya. Al-khuluf, yaitu perubahan bau mu-lut orang yang berpuasa karena puasanya (Fat-hul Baari, IV/125, 26, 127, cet. Darul Ma’rifah).
[5]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/111, no. 1896) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/808, no. 1152), Sunan at-Tirmidzi (II/132, no. 762), Sunan Ibni Majah (I/525, no. 1640), Sunan an-Nasa-i (IV/168) dengan lafazh yang sama dan ada sedikit tambahan.
[6]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih Muslim (II/762, no. 1081 (19) dan ini adalah lafazh-nya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/119, no. 1909), Sunan an-Nasa-i (IV/133).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 908)], Fiqhus Sunnah (I/367), dan hadits ini di-riwayatkan oleh Abu Dawud (VI/468, no. 2325).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3811)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani IX/264 dan 265/50), Sunan an-Nasa-i (IV/132 dan 133) tanpa kalimat: مُسْلِمَانِ.
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 205), Sunan Abu Dawud (VI/463, no. 2321).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3869)], Sunan at-Tirmidzi (II/101, no. 693) dan dia berkata, "Menurut sebagian ahli ilmu, maksud hadits ini adalah kita berpuasa dan berbuka bersama-sama dengan jama’ah dan orang banyak."