Selasa, 15 Januari 2013

SEMUA AKAN MEMASUKI NERAKA

Oleh Ustadz Ashim bin Musthafa, Lc

وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوا وَّنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا 

Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut. [Maryam/19: 71-72]


PENJELASAN AYAT :
Ayat ini (ayat pertama) merupakan kabar berita dari Allah Azza wa Jalla kepada seluruh makhluk ; baik orang-orang yang shaleh ataupun durhaka, Mukmin maupun orang kafir. Setiap orang akan mendatangi neraka. Ini sudah menjadi ketentuan Allah Azza wa Jalla dan janji-Nya kepada para hamba. Tidak ada keraguan tentang terjadinya peristiwa itu. Allah Azza wa Jalla pasti akan merealisasikannya. [1]

Yang perlu diketahui, Ulama ahli tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian kata al-wurûd [2] (mendatangi neraka) dalam ayat tersebut. Sebagian Ulama menyatakan, maksudnya neraka dihadirkan di hadapan segenap makhluk, sehingga semua orang akan merasa ketakutan. Setelah itu, Allah Azza wa Jalla menyelamatkan kaum muttaqîn (orang-orang yang bertakwa). Atau menurut penafsiran yang lain, semua makhluk akan memasukinya. Meski kaum Mukminin memasukinya, akan tetapi neraka akan menjadi dingin dan keselamatan bagi mereka. Di samping itu, terdapat penafsiran lain yang memaknainya dengan mendekati neraka. Dan ada yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah panas badan yang dialami kaum Mukminin saat menderita sakit panas. [3]

Syaikh ‘Abdul Muhsin menyatakan bahwa penafsiran paling populer mengenai ayat di atas ada dua pendapat. Pertama, semua memasuki neraka, akan tetapi mereka (kaum Mukminin) tidak mengalami bahaya. Kedua, mereka semua melewati shirâth (jembatan) sesuai dengan kadar amal shalehnya.Jembatan ini terbentang di atas permukaan neraka Jahannam. Jadi, orang yang melewatinya dikatakan telah mendatangi neraka. Penafsiran ini dinukil Ibnu Katsîr rahimahullahdari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu. [4]

Dari dua pendapat ini, Imam Ibnul Abil ‘Izzi rahimahullah (wafat tahun 792 H) memandang bahwa pendapat kedua itulah yang paling kuat dan râjih. Beliau berkata: “Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian al-wurûd dalam firman Allah Surat Maryam ayat 71, manakah pendapat yang benar? Pendapat yang paling jelas dan lebih kuat adalah melintasi shirâth.” [5]

Untuk menguatkan pendapat ini, Imam Ibnul Abil ‘Izzi rahimahullah berhujjah dengan ayat selanjutnya (QsMaryam/19:72) dan hadits riwayat Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahihnya no. 6354. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Umm Mubasysyir Radhiyallahu ‘anha, ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda saat berada di samping Hafshah Radhiyallahu ‘anha , “Tidak ada seorang pun dari orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon (ikut serta dalam perjanjian Hudaibiyah, red) yang akan masuk neraka”. Hafshah (bertanya-tanya dengan) berkata, “Mereka akan memasukinya wahai Rasulullah”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyanggahnya. Hafshah Radhiyallahu ‘anha berdalil dengan membaca ayat (yang artinya): “Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan. (Mendengar ini) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian (mendudukkan masalah seraya) bersabda, “Sungguh Allah telah berfirman setelahnya: Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut)”.

Usai mengetengahkan hadits di atas, Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah mengatakan bahwa beliau (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan (dalam hadits) bahwa maksud alwurûd (mendatangi neraka) tidak mesti memasukinya. Begitu juga selamatnya (seseorang) dari mara bahaya tidak mesti ia telah mengalaminya. Akan tetapi, dengan adanya kondisi (genting) yang terjadi itu sudah cukup (kemudian dia selamat dari ancaman itu). Barang siapa dikejar musuh yang hendak membunuhnya, namun musuh tidak sanggup menangkapnya, maka untuk orang yang tidak tertangkap ini bisa dikatakan: Allah telah menyelamatkannya. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا هُودًا

Dan ketika adzab Kami datang, Kami selamatkan Hûd…[Hûd /11:58],

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَالِحًا

Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Saleh…[Hûd /11:66],

وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا شُعَيْبًا 

Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Syu’aib [Hûd /11:94]

Siksa Allah Azza wa Jalla tidak ditimpakan kepada mereka, akan tetapi menimpa orang selain mereka Jika tidak ada faktor-faktor keselamatan yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan bagi mereka secara khusus, niscaya siksa akan menimpa mereka juga. Demikian pula pengertian al-wurûd (mendatangi neraka), maksudnya orangorang akan melewati neraka dari atas shirâth. Kemudian Allah Azza wa Jalla menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di neraka dalam keadaan berlutut” [6]

Senada dengan keterangan di atas, sebelumnya Imam Nawâwi rahimahullah (wafat tahun 676 H) pun menguatkan arti menyeberangi shirâth. Beliau rahimahullah berkata dalam menerangkan hadits Umm Mubasysyir Radhiyallahu ‘anha : “Yang benar, maksud al-wurûd (mendatanginya) dalam ayat adalah melewati shirâth. Shirâth adalah sebuah jembatan yang terbentang di atas neraka Jahanam. Para penghuni neraka akan terjatuh di dalamnya. Sementara selain mereka akan selamat”. [7]

Dalam kitab al-Jawâbuss Shahîh (1/228), Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimaullah juga merâjihkan pengertian al-wurûd dengan menyeberangi shirâth [8]. Syaikh Abu Bakar al-Jazairi hafizhahullâh juga memilih pendapat ini dalam tafsirnya [9].

ORANG-ORANG BERTAKWA SELAMAT MELINTASI SHIRÂTH
Amal shaleh akan sangat berpengaruh dalam proses melewati shirâth ini. Semakin banyak amal shaleh seseorang di dunia, maka ia akan semakin cepat dalam menyeberanginya. Allah Azza wa Jalla menyelamatkan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya sesuai dengan amal mereka.

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Orang-orang menyeberanginya sesuai dengan kadar amaliahnya (di dunia). Sebagian melewatinya secepat kedipan mata, atau secepat angin, secepat jalannya kuda terlatih maupun seperti kecepatan larinya hewan ternak. Sebagian (menyeberanginya) dengan berlarilari, berjalan dan merangkak. Sebagian yang lain tersambar dan terjerumus jatuh di dalam neraka. Masing-masing sesuai dengan ketakwaannya. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa (kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya) dan membiarkan orang-orang zhalim (yang menzhalimi diri mereka sendiri dengan kekufuran dan maksiat) di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.” [10]

Semoga Allah k dengan rahmat dan kasih-Nya berkenan menyelamatkan kita sekalian dari neraka.

PELAJARAN DARI AYAT:
1. Mengandung penetapan kewajiban beriman keberadaan neraka.
2. Penetapan kewajiban mengimani shirâth.
3. Penetapan kepastian menyeberangi jembatan di atas neraka.
4. Ketetapan Allah Azza wa Jalla pasti terjadi.
5. Orang-orang bertakwa akan selamat dari siksa neraka.
6. Orang-orang fâjir (berbuat jahat) akan binasa karena kesyirikan dan maksiat mereka.

Wallâhu a’lam. 


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Silahkan lihat 532 Adhwâul Bayân 4/381, al-Aisar (1/738)
[2]. Mashdar (bentuk pembendaan) dari kata kerja warada yaridu yang merupakan asal kata dari wâridu (wâridûhâ) yang tertera dalam ayat
[3]. Silahkan lihat Adhwâul Bayân 4/372, Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 498
[4]. Jâmiur Rasâil Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd (1/260) dengan diringkas
[5]. Syarhul Aqîdatith Thahâwiyah hlm. 416, takhrîj Syaikh al-Albâni
[6]. Ibid
[7]. Syarhu Shahîh Muslim (16/275)
[8]. Nukilan dari Syarhul ‘Aqîdatil Wâsithiyyah, Khâlid ‘Abdullah al-Mushlih, hlm. 145
[9]. Aisarut Tafâsîr (1/738)
[10]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 499 dengan diringkas