Jumat, 04 Januari 2013

SYIRKAH (PERSERIKATAN)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Syirkah
Asy-Syirkah adalah al-ikhtilath (percampuran/persekutuan). Secara syara’ adalah apa yang terjadi dengan ikhtiyar antara dua orang atau lebih berupa percampuran (persekutuan) untuk menghasilkan laba/untung. Dan terkadang terjadi tanpa sengaja seperti warisan.” [1]

Pensyari’atan Syirkah
Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ

“... Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini...” [Shaad: 24]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِن كَانُوا أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ

“... Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu...” [An-Nisaa': 12]

Dari as-Sa-ib bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

كُنْتَ شَرِيكِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكُنْتَ خَيْرَ شَرِيكٍ لاَ تُدَارِينِي وَلاَ تُمَارِينِي.

“Engkau dahulu adalah sekutuku di masa Jahiliyyah, dan engkau adalah sebaik-baik sekutu, engkau tidak pernah menolak dan membantahku.” [2] 

Perserikatan Syar’i
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam as-Sailul Jarraar (III/246, III/248), “Perserikatan yang syar’i terjadi dengan adanya saling ridha antara dua orang atau lebih dengan ketentuan setiap orang dari mereka membayar (menyetor) jumlah yang jelas dari hartanya, kemudian mereka mencari usaha dan keuntungan dengan uang tersebut. Setiap orang dari mereka mendapat untung seukuran harta yang ia serahkan, dan bagi setiap orang dari mereka ada kewajiban pembiayaan sebesar itu pula yang dikeluarkan dari harta perserikatan. Jika terjadi saling ridha untuk membagi untung sama rata walaupun jumlah harta yang dikeluarkan berbeda-beda, maka hal tersebut boleh, walaupun harta (yang dikeluarkan) oleh salah seorang dari mereka sedikit dan yang lain lebih banyak. Dan dalam hal yang seperti ini tidak mengapa menurut syari’at, karena ia merupakan perniagaan yang dilakukan atas dasar saling ridha dan ke-relaan hati.”


[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Fat-hul Baari (V/129)
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1853)], Sunan Ibni Majah (II/768, no. 2287)