Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Definisi Hawalah
Hawalah dengan haa yang difat-hah dan terkadang dikasrah, diambil dari kata at-tahwil (memindahkan) atau dari kata al-ha-uul, dikatakan: haala ‘anil ‘ahdi idzaa intaqala ‘anhu ha’uulan (berpindah dari janji). Dan menurut para fuqaha adalah memindahkan hutang dari satu penghutang kepada penghutang lainnya.
Barangsiapa yang mempunyai hutang sedangkan ia (sendiri) menghutangi orang lain, kemudian ia memindahkan hutangnya kepada orang yang berhutang kepadanya, maka wajib bagi orang yang memberi hutang untuk berpindah (dalam menagih hutang) jika orang yang dipindahkan hutang kepadanya (al-muhaal ‘alaih) kaya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ.
“Menangguhkan pembayaran hutang adalah zhalim, apabila seseorang dari kalian diminta supaya menagih hutang kepada orang kaya, maka hendaklah ia menagihnya.” [1]
WADI’AH (TITIPAN)
Definisi Wadi’ah
Al-Wadi’ah diambil dari wada’a asy-syai’a yang artinya meninggalkannya (menitipkannya).
Dan sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang pada orang lain agar ia menjaganya disebut wadi’ah karena ia meninggalkannya pada al-muuda’ (orang yang dititipi).
Hukum Wadi’ah
Apabila seseorang menitipkan sesuatu kepada saudaranya, maka ia wajib menerimanya jika ia mengetahui bahwa dirinya mampu untuk menjaganya karena ini merupakan bab ta’awun ‘alal birri wat taqwa (saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan).
Dan wajib bagi muuda’ (orang yang dititipi) untuk mengembalikan wadi’ah kapan saja jika diminta darinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...” [An-Nisaa': 58]
Dan juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ...
“Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberikan amanat kepadamu...” [2]
Jaminan (Ganti Rugi)
Orang yang diberi titipan tidak memberikan jaminan (ganti rugi) kecuali jika ia ceroboh.
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أُودِعَ وَدِيعَةً فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ.
"Barangsiapa yang dititipi suatu barang, maka tidak ada kewajiban atasnya untuk memberikan jaminan (ganti rugi).’” [3]
(Diriwayatkan) juga darinya bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ ضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمَنٍ.
“Tidak ada kewajiban memberi jaminan bagi orang yang diberi amanat.” [4]
Dari Anas bin Malik, ia menerangkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu menuntutnya untuk mengganti barang titipan yang telah dicuri di antara hartanya
Al-Baihaqi berkata, “Ini mengandung kemungkinan bahwa ia lalai (ceroboh) padanya, sehingga ia menjaminnya (mengganti-nya) disebabkan kecerobohannya.” [5]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5876)], Sunan Ibni Majah (no. 2404), Ahmad (II/71).
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (240)], Sunan at-Tirmidzi (II/368, no. 1282), Sunan Abi Dawud (IX/450, no. 3518).
[3]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1945), Irwaa-ul Ghaliil (no. 1547)], Sunan Ibni Majah (II/802, no. 2401).
[4]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7518)], ad-Daraquthni (III/41, no. 167), al-Baihaqi (VI/289).
[5]. Al-Baihaqi (VI/289).