Jumat, 04 Januari 2013

LAQIITH (ANAK TEMUAN)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Laqiith
Laqiith adalah anak kecil yang belum baligh yang ditemukan di jalan atau tersesat di jalan atau tidak diketahui nasabnya.

Hukum Memungut Laqiith
Hukum memungutnya adalah fardhu kifayah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

“... Dan tolong menolonglah dalam kebaikan...” [Al-Maa-idah: 2]

Keislaman, Kemerdekaan Dan Nafkahnya
Apabila ditemukan di negeri Islam, maka dihukumi sebagai muslim dan dihukumi sebagai orang yang merdeka dimana pun ia ditemukan, karena hukum asal manusia adalah merdeka. Apabila ia membawa harta, maka ia diberi nafkah dari hartanya, kalau tidak maka nafkahnya diambil dari baitul maal.

Dari Sunain Abu Jamilah -seseorang dari Bani Sulaim- ia berkata, “Aku menemukan seorang anak, lalu aku membawanya menemui ‘Umar bin al-Khaththab, maka berkatalah ‘Uraifi, ‘Wahai Amirul Mukminin, sungguh ia adalah orang yang shalih.’ ‘Umar berkata, ‘Apakah benar ia seperti itu?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ ‘Umar berkata, ‘Bawalah ia, dan ia merdeka dan engkau mendapatkan wala’nya, dan kewajiban kami (baitul maal) memberikan nafkahnya.’” [1] 

Warisan Anak Temuan
Apabila anak temuan meninggal dan ia meninggalkan warisan serta tidak meninggalkan ahli waris, maka warisannya menjadi milik baitul mal demikian pula diyat (denda)nya jika ia dibunuh.

Mengakui Nasabnya
Barangsiapa yang mengakui nasabnya baik laki-laki maupun wanita, maka ia diserahkan kepadanya, selama wujud dari anak temuan itu adalah hal yang mungkin sebagai anaknya. Apabila ada dua orang yang mengakui nasabnya atau lebih, maka tetaplah nasabnya bagi orang yang mendatangkan bukti atas pengakuannya, kalau tidak maka dibawa kepada al-qaafah (yaitu) mereka yang mengetahui tentang nasab dengan melihat kepada kemiripan, kemudian ia dihubungkan dengan orang yang ditetapkan oleh al-qa-if (orang yang ahli tentang nasab) bahwa ia adalah anaknya.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسْرُوْرًا تَبْرُقُ أَسَارِيرُ وَجْهِهِ، فَقَالَ: أَلَمْ تَرَى أَنَّ مُجَزِّزًا الْمُدْلِجِيَّ نَظَرَ آنِفًا إِلَى زَيْدِ وَأُسَامَةَ وَقَدْ غَطَّيَا رُؤُوْسَهُمَا وَبَدَتْ أَقْدَامُهُمَا، فَقَالَ: إِنَّ هذِهِ اْلأَقْدَامَ بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ.

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku dalam keadaan gembira dan berseri raut mukanya, beliau bersabda, ‘Tidakkah engkau melihat bahwa Majazzir al-Mudliji tadi melihat kepada Zaid dan Usamah, keduanya menutup kepala mereka dan hanya terlihat kakinya saja, ia berkata, ‘Sungguh kaki-kaki ini sebagiannya adalah dari sebagian yang lain (masih satu keturunan).’”[2]

Apabila al-qa-if menetapkan bahwa ia adalah anak dari keduanya, maka ia dihubungkan dengan keduanya. 

Dari Sulaiman bin Yasar dari ‘Umar (ia menceritakan) tentang seorang wanita yang disetubuhi oleh dua orang laki-laki di saat suci, maka al-qa-if berkata, “Sungguh keduanya telah ikut bersama.” Lalu Umar menjadikannya antara keduanya. 

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/56, no. 6771), Shahiih Muslim (II/ 1081, no. 1459), Sunan Abi Dawud (VI/357, no. 2250), Sunan at-Tirmidzi (III/298, no. 2212), Sunan an-Nasa-i (VI/184).
[2]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1578)], al-Baihaqi (X/263).