Jumat, 04 Januari 2013

HIBAH (PEMBERIAN/HADIAH)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Hibah
Hibah yaitu seseorang memberikan kepemilikan hartanya kepada orang lain di saat hidup tanpa imbalan.

Anjurannya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ.

“Wahai kaum muslimah, janganlah sekali-kali seorang wanita meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya ujung kaki kambing.” [1]

Darinya pula bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَهَادُوا تَحَابُّوا.

“Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian akan saling mencintai.” [2] 

Menerima Hibah Walaupun Sedikit
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لاَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ.

“Kalau aku diundang untuk makan dziraa’ atau kuraa’ [3] niscaya aku akan datang, dan kalau aku diberi hadiah dziraa’ atau kuraa’ niscaya aku akan terima.” [4] 

Hadiah Yang Tidak Boleh Ditolak
Dari ‘Azrah bin Tsabit al-Anshari, ia berkata, “Telah bercerita kepadaku Tsumamah bin ‘Abdillah, ia berkata, ‘Aku masuk menemuinya, ia lalu memberiku minyak wangi dan berkata, ‘Anas Radhiyallahu 'anhu tidak menolak minyak wangi.’ Ia berkata, ‘Anas baranggapan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu tidak pernah menolak minyak wangi.’” [5]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ لاَ تُرَدُّ الْوَسَائِدُ وَالدُّهْنُ وَاللَّبَنُ.

"Tiga hal yang tidak boleh ditolak; (1) bantal, (2) minyak rambut dan (3) susu.’”[6] 

Membalas Hadiah
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيْبُ عَلَيْهَا.

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima hadiah dan beliau membalasnya.” [7] 

Siapa Yang Paling Utama Mendapatkan Hadiah?
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah, ‘Sesungguhnya aku memiliki dua orang tetangga, kepada siapakah aku akan memberi hadiah?’ Beliau menjawab,

إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا.

"Kepada orang yang paling dekat pintunya denganmu.’” [8]

Dari Kuraib, maula Ibnu ‘Abbas, bahwa Maimunah binti al-Harits Radhiyallahu anhuma (isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) memberitahukan kepadanya bahwa ia memerdekakan budaknya dan belum izin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tatkala datang hari gilirannya, ia berkata, “Wahai Rasulullah apakah engkau merasa bahwa aku telah memerdekakan budakku?” Beliau menjawab, “Apakah engkau telah melakukannya?” Ia berkata, “Ya.” Beliau bersabda:

أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ.

“Seandainya engkau memberikannya kepada bibi-bibimu, maka itu lebih besar pahalanya untukmu.”[9] 

Haram Melebihkan Pemberian Kepada Sebagian Anak Saja
Dari an-Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Ayahku bersedekah kepadaku dengan sebagian hartanya. Maka ibuku, (yaitu) ‘Amrah binti Rawahah berkata, ‘Aku tidak ridha hingga engkau mempersaksikannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Maka, ayahku berangkat menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mempersaksikannya atas sedekahku. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda:

اِتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلاَدِكُمْ.

"Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anakmu."

Lalu Ayahku pulang dan mengembalikan sedekah tersebut.”

Dan dalam suatu riwayat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَلاَ تُشْهِدْنِي إِذًا، فَإِنِّي لاَ أَشْهَدُ عَلَى جَوْرٍ.

“Kalau demikian maka janganlah engkau mempersaksikanku, sesungguhnya aku tidak bersaksi atas kezhaliman”

Dan dalam suatu riwayat: “Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidakkah menggembirakanmu, jika mereka sama dalam berbuat kebaikan kepadamu?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Kalau begitu, maka jangan engkau lakukan.’” [10]

Tidak Halal Bagi Siapapun Untuk Meminta Kembali Pemberiannya Tidak Pula Membelinya
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ الَّذِي يَعُودُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِي قَيْئِهِ.

"Kami tidak memiliki permisalan yang keji, orang yang meminta kembali hibahnya bagaikan anjing yang menelan kembali muntahnya.’” [11]

Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, aku mendengar ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, “Aku menyedekahkan seekor kuda (untuk jihad) fii sabilillah, namun pemiliknya telah menelantarkannya, sehingga aku ingin membeli kembali darinya, aku mengira ia akan menjualnya dengan harga yang murah. Kemudian aku bertanya tentang hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

تَشْتَرِهِ وَإِنْ أَعْطَاكَهُ بِدِرْهَمٍ وَاحِدٍ فَإِنَّ الْعَائِدَ فِي صَدَقَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ.

"Janganlah engkau membelinya, walaupun ia memberikannya kepadamu dengan harga satu dirham, sesungguhnya orang yang mengambil kembali shadaqohnya bagaikan anjing yang memakan kembali muntahnya.’” [12]

Dikecualikan dari (Hukum) Itu Adalah Seorang Ayah (Ia Boleh Mengambil Kembali) Apa yang Ia Berikan Kepada Anaknya
Dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhum, keduanya merafa’-kan hadits tersebut, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ.

“Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian kemudian ia memintanya kembali kecuali ayah pada apa yang ia berikan kepada anaknya (maka boleh diminta kembali).” [13] 

Apabila Orang Yang Diberi Hadiah Mengembalikan Hadiah, Maka Tidak Mengapa Bagi Pemberi untuk Menerimanya
Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi Shalllallahu 'alaihi wa sallam shalat mengenakan khamishah [14] yang bergaris-garis, lalu beliau memandang kepada garis-garisnya sepintas. Maka, tatkala beliau selesai dari shalatnya, beliau bersabda:

اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي.

“Bawalah khamishahku ini kepada Abu Jahm dan bawalah untukku anbijaaniyahnya Abu Jahm, sesungguhnya khamishah ini telah melalaikan aku dari shalatku.” [15]

Dari ash-Sha’b bin Jutstsamah al-Laitsi -ia termasuk Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam-, bahwa ia pernah memberi hadiah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa keledai liar saat beliau berada di Abwa -atau di Waddan- dan beliau sedang ihram, maka beliau pun menolaknya. Sha’b berkata, “Tatkala beliau melihat perubahan raut wajahku karena penolakannya terhadap hadiahku. Beliau bersabda:

لَيْسَ بِنَا رَدٌّ عَلَيْكَ وَلَكِنَّا حُرُمٌ.

"Kami tidak menolak (karena ada sesuatu) atas dirimu, akan tetapi (karena) kami sedang dalam keadaan ihram.’” [16] 

Orang Yang Menyedekahkan Sesuatu Kemudian Ia Mewarisinya
Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyedekahkan seorang budak wanita kepada ibuku, dan ia (ibuku) telah wafat.’ Lalu beliau bersabda: 

آجَرَكِ اللهُ وَرَدَّ عَلَيْكِ مِيْرَاثُ.

“Semoga Allah memberimu pahala dan Allah mengembalikan warisan kepadamu” [17] 

Hadiah Bagi Para Pekerja Adalah Ghulul (Pengkhianatan)
Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari (bani) al-Azd yang bernama Ibnul Lut-iyah untuk (mengambil) zakat, tatkala datang ia berkata, “Ini untuk kalian dan ini hadiah untukku.” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lantas berdiri di atas mimbar, beliau mengucapkan hamdalah dan memuji-Nya kemudian bersabda: 

مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي فيَقُولُ هذَا لَكَ وَهذَا لِي فَهَلاَّ جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ.

"Apakah gerangan yang terjadi pada seorang ‘amil, kami mengutusnya lalu ia datang seraya berkata, ‘Ini untukmu dan ini untukku.’ Mengapakah ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, lalu ia menunggu apakah ia akan diberi hadiah atau tidak? Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah ia membawa sesuatu kecuali ia akan membawanya pada hari Kiamat, ia memanggulnya di atas lehernya, apabila unta ia memiliki suara, atau sapi melenguh atau kambing mengembik.'

Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga kami melihat putih kedua ketiaknya (seraya bersabda), ‘Bukankah telah aku sampaikan (diucapkan tiga kali).’”[18]


[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/197, no. 2566), Shahiih Muslim (II/714, no. 1030)
[2]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3004), Irwaa-ul Ghaliil (no. 1601)], Sunan al-Baihaqi (VI/169).
[3]. Dzirra’ dari hewan adalah kaki bagian atas, sedangkan kuraa’ dari hewan adalah bagian di bawah mata kaki dan yang tidak berdaging (sedikit daging-nya). Dziraa’ dan kuraa’ secara khusus disebutkan di sini untuk mengga-bungkan antara sesuatu yang rendah (tidak berharga) dan sesuatu yang ter-hormat (berharga). Karena dziraa’ begitu disukai oleh beliau dari pada (ba-gian yang) lain. Sedangkan kuraa’ tidak berharga, disebutkan dalam sebuah pepatah, “Berilah kuraa’ kepada seorang hamba, niscaya akan diminta dziraa’ darimu.”
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5268)], Shahiih al-Bukhari (V/199, no. 2568)
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 2240)], Shahiih al-Bukhari (V/209, no. 2582), Sunan at-Tirmidzi (IV/195, no. 2941)
[6]. Hasan: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 2241)], Sunan at-Tirmidzi (IV/199, no. 2942)
[7]. Shahih: Shahiih al-Bukhari (V/210, no. 2585), Sunan Abi Dawud (IX/451, no. 3519), Sunan at-Tirmidzi (III/227, no. 2019)
[8]. Shahih: Shahiih al-Bukhari (V/219, no. 2595), Sunan Abi Dawud (XIV/63, no. 5133)
[9]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/217, no. 2592), Shahiih Muslim (II/693, no. 999), Sunan Abi Dawud (V/109, no. 1674)
[10]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/211, no. 2587), Shahiih Muslim (III/ 1241, no. 1623), Sunan Abi Dawud (IX/457, no. 3525)
[11]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/234, no. 2622), dan ini adalah lafazh-nya. Shahiih Muslim (III/1240, no. 1622), Sunan Abi Dawud (IX/454, no. 3521), Sunan at-Tirmidzi (II/383, no. 1316), Sunan an-Nasa-i (VI/265).
[12]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (III/353, no. 1490), Shahiih Muslim (III/ 1239, no. 1620), Sunan an-Nasa-i (V/108) ia meriwayatkannya dengan ring-kas, Sunan at-Tirmidzi (II/89, no. 663), Sunan Abi Dawud (IV/483, no. 1578).
[13]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7655)], Sunan Abi Dawud (IX/455, no. 3522), Sunan at-Tirmidzi (II/383, no. 1316), Sunan an-Nasa-i (VI/265), Sunan Ibni Majah (II/795, no. 2377).
[14]. Khamishah adalah pakaian persegi empat yang memiliki dua garis, sedang-kan anbijaaniyah adalah pakaian tebal yang tidak bergaris dinamakan demikian dinisbatkan kepada suatu tempat yang bernama Anbijaan.
[15]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (I/482, no. 373), Shahiih Muslim (I/391, no. 556), Sunan Abi Dawud (III/182, no. 901), Sunan an-Nasa-i (II/72) 
[16]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/31, no. 1825), Shahiih Muslim (II/850, no. 1193), Sunan at-Tirmidzi (II/170, no. 851), Sunan Ibni Majah (II/1032, no. 3090), Sunan an-Nasa-i (V/183).
[17]. Shahih: Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 535), Shahiih Muslim (II/805, no. 1149), Sunan at-Tirmidzi (II/89, no. 662), Sunan Abi Dawud (VIII/79, no. 2860)
[18]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XIII/164, no. 7174), Shahiih Muslim (III/ 1463, no. 1832), Sunan Abi Dawud (VIII/162, no. 2930)